Kita sebagai seorang muslim pasti pernah merasakan ketika akan mengerjakan shalat wajib tetapi kita lebih mendahulukan makan daripada shalat. Hal itu lumrah terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Apakah hal tersebut di perbolehkan dalam ajaran islam?
Mari kita kaji bersama dalam tulisan berikut ini.
Syariat islam menganjurkan ketika kita melakukan shalat, hendaknya di kerjakan dengan penuh kekhusyukan, karena ketika shalat, kita sedang menghadap kepada Rabb kita. Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk menghilangkan semua sebab yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat kita, di antaranya adalah kebutuhan terhadap makanan. Sebab hati dan pikiran kita tidak fokus terhadap shalat yang sedang kita kerjakan karena di sibukkan oleh hal makanan tersebut.
Oleh sebab itu, Junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan menyantap makanan yang sudah tersaji/di siapkan, meskipun shalat tersebut hampir di tegakkan.
Seperti terkandung dalam hadits Rasullullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini,
Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَحَضَرَ العَشَاءُ، فَابْدَءُوا بِالعَشَاءِ
"Jika shalat hampir di tegakkan, sedangkan makan malam telah di hidangkan, maka dahulukanlah makan malam." (HR Bukhari no.5465 dan Muslim no.557)
Melihat hadits di atas, kita hendaknya jangan mensangkakan bahwa kalau mendahulukan makanan, maka hak manusia lebih utama daripada hak kepada Allah. Hikmahnya, kita dalam mengerjakan shalat perlu melaksanakan dengan hati yang khusyu. Karena kalau kita sedang merasa lapar pasti pikiran kita tertuju pada hal makanan, sehingga membuat shalat kita menjadi tidak khusyu. Adapun kalau kita dalam keadaan tidak lapar, maka shalat harus di dahulukan daripada makan.
Jikalau waktu untuk kita melakukan shalat hampir habis, maka harus mendahulukan shalat terlebih dahulu agar shalat kita tetap di lakukan pada waktunya. Sebab anjuran shalat khusyu tidak menggugurkan kewajiban shalat kita pada waktunya.
Maka dari itu, untuk mencapai kepada khusyu dalam mengerjakan shalat kita sudah selayaknya membuang jauh-jauh dari apa yang bisa menyebabkan kita melalaikan dari mengingat Allah ketika kita shalat. Juga hendaknya kita menghayati shalat, bacaan dan doa/zikir yang ada di dalamnya.
Jika kita tidak menjadikan menyantap mekanan dahulu daripada shalat berjamaah sebagai kebiasaan, maka hal tersebut akan di catat sebagai ganjaran pahala shalat berjamaah, begitu pula sebaliknya, jika menjadi kebiasaan maka tidak di hitung sebagai pahala shalat berjamaah. Hal tersebut berdasarkan hadits, Rasullullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
"Jika seseorang dalam keadaan sakit atau melakukan perjalanan jauh (safar), maka dia akan di catat semisal apa yang di lakukan tatkala dalam keadaan sehat atau mukim (tidak bersafar)." (HR. Bukhari no. 2996)
Hadits di atas mencontohkan dalam keadaan sakit, jadi ada alasan (udzur) sakit maka pahala di hitung sama ketika kita melakukan shalat berjamaah dalam keadaan sehat. Maka jika kita telat melaksanakan shalat karena alasan mendahulukan makan (lapar) pahala kita tetap di ganjar pahala melakukan shalat jamaah sebagaimana yang rutin kita kerjakan.
Semoga bermanfaat bagi kita semua kaum muslim.